Menonton Politik
Fajar-Pedia.Com|Kesibukan kita akhir akhir ini dalam skala lokal adalah menonton politik. Secara khusus kita disuguhkan isu dan intrik dalam pembentukan koalisi dan perebutan pintu partai. Yang ada dalam kepala para politisi lokal beserta kandidat dan pendukungnya adalah bagaimana mencapai syarat yang diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2024 Tentang Pencalonan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Walikota Dan Wakil Walikota. Diantaranya Partai Politik hasil Pemilu 2024 yang berhak mengajukan calon adalah partai politik atau gabungan partai politik yang mendapat kursi DPRD 20 persen atau suara total 25 persen pada Pemilu 2024.
Konsekuensinya adalah memori politik menjadi begitu pendek. Para pelaku politik seakan alpa dalam mengingat peristiwa pemilu legislatif yang baru selesai. Semuanya begitu mudah dan sederhana dikonversi sekedar hitungan statistik untuk mencapai 20 atau 25 persen syarat pengajuan paket. Apakah itu tidak boleh? Jawabannya tentu boleh. Karena hal tersebut merupakan segi formal dari sebuah proses penyelenggaraan pemilu. Hal formal baru merupakan satu soal. Hal yang terpenting adalah pendalaman demokrasi melalui pemilu. Salah satunya adalah menghadirkan pemilu/pilkada sebagi proses politik yang menghasilkan pertukaran ide, yang lahir dari kesadaran partisipasi masyarakat. Dan ini sangat ditentukan oleh pendidikan politik dan perluasan wawasan demokrasi yang harus dilakukan oleh partai politik. Namun sayang hal ini tidak dilakukan secara maksimal jika tidak sampai menyebutnya tidak memiliki kurikulum politik partai yang jelas. Hal ini nampak dari beberapa fenomena di Lembata, diantaranya partai partai terkesan tidak menyiapkan kadernya untuk “berkompetisi”. Dan juga Perilaku para politisi yang “gagap” mengucapkan tema tema politik yang akhirnya lebih pada menghasilkan kebisingan dari pada sebuah bunyi yang artikulatif. Para pelaku politik hanya mampu mengomentari sebuah fenomena dan gagal dalam melakukan semacam refleksi politik dari sebuah proses. Hal ini nampak jelas misalnya, bagaimana para pelaku politik lokal di ruang media sosial mengomentari fenomena keputusan DPP Partai Demokrat yang mendukung Marsianus Jawa sebagai calon bupati. Kebanyakan dari kita akhirnya terjebak dalam penilaian yang subyektif dan parsial. Kegagapan para politisi dapat dilihat misalnya tidak secara proposional dalam membicarakan isu politik dan uang serta jejaring. Berbagai pihak boleh saja berbeda pendapat dalam memaknai kehadiran uang dalam proses politik. Namun tidak boleh juga secara serampangan dipakai sebagai kampanye negatif yang tak berdasar. Karena hari ini di republik ini masih berlaku adagium lama, Money is the mother’s milk of politics. Uang sebagai “ASI” bagi politik. Tentu bukan yang utama. Namun ketika seorang politisi membantah adanya uang dalam sebuah proses politik maka ibarat, maaf seorang PSK sedang mengkampanyekan dirinya sebagai yang “virgin”. Uang dan politik harus dibicarakan secara proposional. Demikian pula adalah naif ketika seorang politisi mengabaikan komunikasi informal hanya kerena berpegang teguh pada komunikasi penjenjangan orgaisasi formal. Pelaku politik seperti itu lupa bahwa politik adalah perkara “siapa mendapat apa ,kapan dan bagaimana?”. Politisi tipe ini hanya menunggu waktu dimakan oleh ilusinya sendiri. Selanjutnya terlepas dari plus minusnya, namun mengarahkan kritikan sekedar pendatang dan bukan, atau politik naturalisasi dan sejenisnya hanya menggambarkan kepicikan dalam berpolitik. Karena bagi mereka yang berpikir seperti itu, sedang menegaskan bahwa pegangan politik mereka adalah simbolisme komunal. Pemimpin partai atau pemimpin politik yang berakar pada nilai nilai primordial dan jaringan politiknya dibangun berbasis komunal. Akibatnya adalah terjadinya feodalisme politik dalam format sebuah partai yang moderen.
Kondisi dan watak politisi seperti di atas justru akan merusak masa depan daerah ini. Karena akan gagal mengelola kecerdasan publik dan mengucapkannya sebagai sebuah gagasan politik pembangunan. Politisi picik seperti itu hanya akan memanfatkan isu isu primordial yang sempit dan konyol; alih alih melakukan pertukaran dan pertengkaran ide, justru yang dilakukan adalah mempertanyakan asal usul leluhur para kandidat. Mempertanyakan basis dukungan berdasarkan etnis. Mungkin mereka lupa para founding fathers kabupaten ini berpolitik dengan prinsip politik “Reu/kaka ari/menjadi saudara”. Dan itu nyata dalam semangat statement 7 Maret. Politik yang melihat orang yang “bukan kita” sebagai saudara. Karena para pendiri dan leluhur kabupaten tercinta ini yakin yang membuat kita saudara adalah niat tulus siapa saja yang mau menjadi tanah Lembata ini baik dan penghuninya menjadi “ata diken”/manusia. Jadi Sungguh konyol jika ada elit politik atau pelaku politik yang masih terjebak dalam isu isu picik kedaerahan. Bagaimana kita dapat memperoleh sebuah gagasan politik masa depan dari para elit politik seperti ini? Bukankah demokrasi tidak hidup dari politik hari ini tetapi dari politik yang melampau kondisi kekinian? Yaitu pikiran yang memberi inspirasi perubahan. Karena itu kini saatnya kita gemohing gagasan dan perbuatan serta mengedepankan politik “ata diken”. Stop berpolitik yang membuat bising namun tidak menghadirkan bunyi. Wallahualam.(Redaksi)